Bismillahirrahmanirrahim...
Gak kerasaan udah
3 tahun lebih saya nyimpan cerita Praktik Belajar Lapangan (PBL) di Desa Karya
Maju bersama cems-cems kelompok 7 “Chikazu” (Chibi Karya Maju) (colek
anggota tim lainnya: Aam, Assegaf, Helda Rafita, Mira, Sari, Diah, Rina, dan
Yuyun). Ceritanya, sebagai sebuah mata kuliah wajib untuk Mahasiswa PSKM
(Program Studi Kesehatan Masyarakat) kami menjalani yang namanya PBL di Kabupaten
Barito Kuala (Batola) Kalimantan Selatan. Entah apa pertimbangan para dosen
milih kebupaten tersebut sebagai lahan percobaan kami, tapi yang jelas saat itu
Kabupaten Barito Kuala menjadi salah satu kabupaten dengan Angka Kematian Ibu
dan Anak yang tinggi di Kalimantan Selatan.
Setidaknya inilah
pengalaman pertama saya harus berbaur dengan masyarakat sekaligus serumah
dengan teman kuliah yang memiliki watak dan kepribadian yang berbeda-beda. Mulai
dari si ketua tim, Aam yang notabane ketua KSI (kelompok Studi Islam) di FK, si
Assegaf yang abal-abal, Helda Rafita si rajin dan cangkal, Diah yang sering
bantuin ibu Jito masak dan nyuci piring, Rina sohibnya Diah yang kalau tidur
gak bisa lepas dari boneka, Sari yang pinter gambar dan kerja yang paling rapi
diantara kami, Mira si cewek tomboy berhijab yang pinter negoisasi sama bagian
CSR Perusahaan Sawit, Yuyun yang paling takut sama luing, dan terakhir Ade yang
biasa-biasa aja tuh (hahaha).
Keluarga Chizaku (Chibi Karya Maju) Kurang satu personel, Yuyun
Sekilas saja,
desa yang menjadi tempat PBL kami ini merupakan sebuah desa pemekaran yang
berada di Kecamatan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Desa ini
(pada waktu itu) baru berusia 6 bulan, sehingga dari kelengkapan administrasi
dan fasilitas tentunya masih sangat memerlukan pembenahan yang ekstra. Ditambah
lagi akses jalan menuju desa ini sangat sulit, seperti kebanyakan jalan di
pedalaman kalimantan yang masih dipadati oleh tanah humus, jalanan berbatu,
apalagi kalau kondisi hujan, hanya bisa ditaklukan sejenis mobil Hartop.
Kondisi jalan di dalam desa, jalan diluar desa?? trust me, waktu itu parah daripada ini
Meski hanya
sekitar 3 minggu kami berbaur dengan masyarakat disini, sudah banyak pengalaman
dan pelajaran yang dapat kami petik. Kalau diingat-ingat lagi rasanya mau
ketawa-ketawa aja. Mulai dari harus tidur ber-7 dengan formasi ikan sarden di
kamar 2 kali 3 meter, rebutan antrian mandi, ke box “warnet” malam-malam
bersama-sama (kalian tahu kan apa yang dimaksud? :v), penyuluhan sama anak SD,
naik motor boceng 3, jaga pustu, makan bakso yang entah bahannya dari apa, naik
tossa yang tulisannya dinas pertenakan Batola, dan seabrek pengalaman pahit
manis lainnya yang kita alami bersama.
Pengalaman Gokil Naik Tossa, Tulisannya itu loh yang Bikin Sensasi Gak Nahan
Namun,
pengalaman yang paling membekas adalah ketika kami harus merujuk salah seorang
warga yang tiba-tiba terserang stoke dan berakhir dengan kematian (hikz). Sebagai
mahasiswa kesehatan masyarakat, tak jarang masyarakat mengartikannya dalam arti
yang berbeda. Dengan adanya embel-embel kesehatan, tak jarang masyarakat
mengartikan kami sebagai mahasiswa dokter, bidan, perawat, maupun tenaga medis
lainnya. Tak bisa dipungkiri, Tenaga Kesehatan Masyarakat mungkin kurang
familiar di kalangan masyarakat pelosok. Tak jarang kami harus menjelaskan
panjang lebar kali tinggi, bahwa kami bukan mahasiswa yang melakukan
pemeriksaan medis. Tapi yah paling-paling cuma melayani tensi darah ke
masyarakat, yah sebagai pemanis saja, tapi meskipun begitu mereka lumayan
antusias untuk diperiksa tensi darahnya.
Setidaknya Cuma Nensi inilah Kerja Medis yang kami Bisa
Bercerita
tentang pelayanan kesehatan disini, karena statusnya baru pemekaran 6 bulan,
maka fasilitas puskesmas pembantu (pustu) belum mempuni. Pustu yang lengkap
hanya bisa diakses masyarakat di desa sebelah dengan mengarungi jalan rusak
berbatu dan licin, sekitar 30 menit perjalanan dengan menggunakan motor. Disini
sebenarnya sudah mulai dibangun pustu untuk desa karya maju, tetapi yah isinya
apa adanya, dan belum ada tenaga kesehatan yang menetap di desa ini. Tenaga
kesehatan yang ada cuma seorang perawat yang datangnya sekitar jam 9 pagi dan
pulang jam 11.30 siang. Selain itu ada juga sih posyandu balita dan ibu hamil
yang dilakukan setiap satu bulan sekali.
Balik ke cerita
perujukan, seingat saya, kejadian ini terjadi di pertengahan fase kami
menjalani PBL. Waktu itu, para cowonya (Aam dan Assegaf) disuruh untuk beli
perlengkapan dan ngurus ini itu ke Ibukota sekalian mereka pulang ke Banjarbaru.
Tinggalah kami ber-tujuh cewe semua. Sebelum pergi, si ketua Aam berwasiat
kepada Helda untuk nge-jagain kami semua, sekaligus jadi ketua yang mengkoord
kami disini. Gak ada firasat apa pun dibenak kami, berharap sepeninggalan ketua
ke Ibukota beberapa hari, semua berjalan lancar seperti hari-hari sebelumnya.
Puncaknya, pada
malam hari, kami ber-tujuh merasa gak bisa tidur, padahal biasanya jam 10an
kami sudah bisa terlelap. Untuk menimbulkan rasa kantuk, kami pun mencoba
menonton film horor yang udah kami stok sebelumnya. Namanya juga perempuan,
suka nonton film horor barengan, tapi ketika ada adegan hantunya muncul malah
ketakutan semua, sembunyi dibalik selimut (hahaha). Ditengah film horor yang
mencekam, tiba-tiba terdengar suara Pak Jito (induk semang base camp kami)
memanggil kami. Sontak kami hentikan sejenak nonbar kami, Helda pun segera
mengambil kerudungnya kemudian pergi ke luar mencoba melihat apa yang sedang
terjadi. Saya bersama beberapa teman lainnya yang tertinggal di dalam kamar
hanya bisa saling berpandangan, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk.
Dengan wajah
yang serius Helda pun kembali masuk ke kamar dan berusaha menceritakan kondisi
pelik yang mungkin terjadi. Katanya ada warga yang kesini, minta kami ke rumahnya,
karena orang tuanya tiba-tiba tak sadarkan diri. Helda pun langsung memberikan
instruksi, sebagian dari kami ikut menjenguk ke rumah pasien, dan sebagian
lainnya menghubungi Aam dan siap siaga di base camp. Diputuskan lah 3 orang
yang pergi ke rumah pasien, yaitu Helda, Rina, dan Saya. Untungnya kami
dipinjami motor oleh Pak Jito ke sana. Rina dengan warga yang melapor tadi, Saya
dan Helda memakai motor Pak Jito.
Hari semakin
larut, malam pun semakin pekat. Dengan hati yang was-was dicampur takut dan
kalut, kami pun menembus kebun karet di tengah gelap gulita. Memang tak ada
lampu penerangan jalan disini, kami hanya bisa mengandalkan lampu dari motor. Tak
hanya disitu, medan jalan yang kami lalui membuat kami hanya banyak-banyak
berdoa agar sampai dengan selamat. Pasalnya, jalan yang sedang kami lalui ini
sangat licin dikarenakan tanah perkebunan yang semakin lembur akibat dilanda
hujan sore tadi. Ditambah lagi di ujung jalan, kami harus melewati jalan setapak
yang menghubungkan jalan yang dipisahkan sungai kecil, jadi bisa dibayangkan
kalau tergelincir sedikit saja kami bisa-bisa jatuh ke sungai kecil itu.
Alhamdulillah,
dengan pertolongan Allah, kami berhasil sampai di rumah pasien. Terlihat seorang
kakek-kakek sedang terbaring dengan gerakan kaku dan suara melenguh, hampir tak
sadarkan diri. Helda pun segera mengeluarkan perlengkapan tensi meter dan
dengan cekatan mencoba me-tensi tekanan darah si kakek. Dengan wajah yang
sedikit terkejut, Helda memberi tahu saya bahwa tekanan darah si kakek hampir
mencapai 200an mm/Hg. Helda pun menyuruh saya untuk menensi ulang si kakek
untuk memastikan bahwa tensiannya benar. Saya pun ikut panik, sampai-sampai
ngerasa nge-blank saat mencoba mengukur tekanan darah si kakek. Usut punya
usut, si kakek ternyata pagi tadi bekerja seperti biasanya menyadap karet di
kebunnya sendiri, malamnya si kakek menghadiri undangan aqiqahan lalu menyantai
masakan tulur rebus. Sehabis pulang dari aqiqahan tersebut kakek tersebut
langsung jatuh dan seperti inilah keadaanya. Lalu, kami pun berasumsi bahwa si
kakek terkena Stroke Akut. Karena kami hanya anak kesehatan masyarakat yang gak
dibekali cara-cara pertolongan pertama saat gawat darurat, yang bisa kami
lakukan adalah dengan segera mungkin merujuk si kakek ke Rumah Sakit Daerah.
Beberapa warga
yang memiliki mobil pun dimintai tolong oleh keluarga pasien, tapi sayangnya
tak ada satu pun yang bersedia meminjamkannya. Kami pun tak habis pikir,
satu-satunya yang bisa kami minta tolongi adalah kawan-kawan PBL yang
berdomisili di desa sebelah. Saat itu kami berusaha menghubungi salah seorang ketua
tim desa sebelah. Alhamdulillah, dari desa sebelah ada satu mobil cold yang
bersedia mengantarkan pasien ke Kota.
Namanya juga
berada di desa sebelah, tak semerta-merta langsung begitu saja datang,
setidaknya perlu waktu hampir setengah jam lebih dari desa sebelah menuju desa
kami. Sembari menunggu jemputan, saya cuma bisa memijit tubuh si kakek dengan
minyak gosok, berharap dapat mengurangi efek kekakuan akibat stroke. Tiba-tiba
saja si kakek muntah, dan muntahannya yang hitam pekat mengenai baju saya. Saya
pun cuma bisa ngelus dada dalam hati, sabar de,, inilah perjuangan tenaga
kesehatan di pelosok negeri.
Waktu hampir
menunjukan jam 1 malam, Alahmdulillah jemputan itu datang. Kami bertiga beserta
beberapa keluarga pasien pun ikut merujuk si kakek ke rumah sakit daerah di
Marabahan. Lagi-lagi perujukan dengan segera harus terkendala lagi, yaitu akses
jalan. Dengan akses jalan yang rusak dan licin membuat mobil ini tak bisa
melaju dengan maksimal. Sekitar pukul 2.30 dini hari, kami pun akhirnya sampai
di rumah sakit daerah Marabahan. Segera saja pasien dirujuk ke UGD. Seorang perawat
rumah sakit pun mendatangi pasien dan mencoba mendiagnosa apa yang terjadi. Dengan
santainya si perawat berujar “ Oh ini stroke, kami gak bisa menangani ini, ini
ditangani di Rumah Sakit Ulin saja, mana keluarganya, biar dibikinkan surat
rujukan..” (NB: Rumah Sakit Ulin merupakan Rumah Sakit Umum Daerah Rujukan
Tertinggi di Kalsel-Kalteng).
Perawat tadi
pun langsung kembali ke ruangannya, TANPA MELAKUKAN PERTOLONGAN PERTAMA/USAHA
MEDIS yang setidaknya dilakukan untuk menunda atau meperlambat risiko yang akan
muncul. Dengan sedikit geram, Helda pun mengambil inisiatif meminta perawat
tadi setidaknya memasangkan infus ataupun tabung oksigen kepada si pasien. Untugnya
si perawat mau-mau saja. Saya dan Rina hanya bisa saling berpandangan, tak ada
yang bisa kami lakukan, cuma bisa berempati sembari memanjatkan doa untuk
keselamatan dan kesembuhan si kakek. Kami pun tak bisa memikirkan, harus berapa
lama lagi didiamkan seperti ini, waktu terbuang hanya karena proses perjalanan
perujukan.
Akhirnya jam 3
pagi, si pasien pun melanjutkan perjalanan perujukan ke Rumah Sakit Ulin. Tinggal
lah kami ber-3 bersama sopir mobil kembali ke desa kami. Sekitar jam 4 subuh
kami disinggahkan di depan gerbang masuk desa kami. Alahmdulillah, sekertaris
desa (sekdes) kami sudah menunggu kami di depan sana. Untungnya kami gak jalan
kaki di tengah subuh menuju base camp. Meskipun kami dijemput, ternyata Pak Sekdes
cuma bawa 1 motor, alhasil daripada disuruh nunggu di tengah gelap, kami naik
berempat 1 motor. Untungnya tubuh kami kecil-kecil dan pak sekdes lumayan lihay
dan hafal jalan di desa.
Setibanya di
rumah, ternyata teman kami yang siap siaga di base camp hampir-hampir tak bisa
tidur menunggu kepulangan kami dengan cemas. Setelah solat subuh, barulah kami
bertiga tepar tertidur seelah perjalanan panjang ini. keesokan harinya,
terdengan kabar bahwa si kakek meninggal dunia saat ditangani di rumah sakit. Rasa
iba, sedih, dan bercampur-baur pun turut memenuhi sanubari kami (terutama saya
yang merasakan perjuangan perujukan yang sebegitunya). Saya pun dalam hati
hanya bisa berbisik, Maaf Pak, Bu, kami Cuma Anak Kesehatan Masyarakat, bukan
dokter, bukan, perawat, maupun tenaga medis.
-end-
NB: Hak cipta dan Hak milik hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala,, namun... ada baiknya jika di copas menyertakan link blog ini... sangpendambasurga@blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar