Kamis, 24 September 2015

Sebuah Kisah Klasik PBL 2012: Maaf Pak, Bu, kami (Cuma) Anak Kesehatan Masyarakat



Bismillahirrahmanirrahim...


Gak kerasaan udah 3 tahun lebih saya nyimpan cerita Praktik Belajar Lapangan (PBL) di Desa Karya Maju bersama cems-cems kelompok 7 “Chikazu” (Chibi Karya Maju) (colek anggota tim lainnya: Aam, Assegaf, Helda Rafita, Mira, Sari, Diah, Rina, dan Yuyun). Ceritanya, sebagai sebuah mata kuliah wajib untuk Mahasiswa PSKM (Program Studi Kesehatan Masyarakat) kami menjalani yang namanya PBL di Kabupaten Barito Kuala (Batola) Kalimantan Selatan. Entah apa pertimbangan para dosen milih kebupaten tersebut sebagai lahan percobaan kami, tapi yang jelas saat itu Kabupaten Barito Kuala menjadi salah satu kabupaten dengan Angka Kematian Ibu dan Anak yang tinggi di Kalimantan Selatan.

Setidaknya inilah pengalaman pertama saya harus berbaur dengan masyarakat sekaligus serumah dengan teman kuliah yang memiliki watak dan kepribadian yang berbeda-beda. Mulai dari si ketua tim, Aam yang notabane ketua KSI (kelompok Studi Islam) di FK, si Assegaf yang abal-abal, Helda Rafita si rajin dan cangkal, Diah yang sering bantuin ibu Jito masak dan nyuci piring, Rina sohibnya Diah yang kalau tidur gak bisa lepas dari boneka, Sari yang pinter gambar dan kerja yang paling rapi diantara kami, Mira si cewek tomboy berhijab yang pinter negoisasi sama bagian CSR Perusahaan Sawit, Yuyun yang paling takut sama luing, dan terakhir Ade yang biasa-biasa aja tuh (hahaha).
Keluarga Chizaku (Chibi Karya Maju) Kurang satu personel, Yuyun 

Sekilas saja, desa yang menjadi tempat PBL kami ini merupakan sebuah desa pemekaran yang berada di Kecamatan Marabahan, Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Desa ini (pada waktu itu) baru berusia 6 bulan, sehingga dari kelengkapan administrasi dan fasilitas tentunya masih sangat memerlukan pembenahan yang ekstra. Ditambah lagi akses jalan menuju desa ini sangat sulit, seperti kebanyakan jalan di pedalaman kalimantan yang masih dipadati oleh tanah humus, jalanan berbatu, apalagi kalau kondisi hujan, hanya bisa ditaklukan sejenis mobil Hartop.

 Kondisi jalan di dalam desa, jalan diluar desa?? trust me, waktu itu parah daripada ini

Meski hanya sekitar 3 minggu kami berbaur dengan masyarakat disini, sudah banyak pengalaman dan pelajaran yang dapat kami petik. Kalau diingat-ingat lagi rasanya mau ketawa-ketawa aja. Mulai dari harus tidur ber-7 dengan formasi ikan sarden di kamar 2 kali 3 meter, rebutan antrian mandi, ke box “warnet” malam-malam bersama-sama (kalian tahu kan apa yang dimaksud? :v), penyuluhan sama anak SD, naik motor boceng 3, jaga pustu, makan bakso yang entah bahannya dari apa, naik tossa yang tulisannya dinas pertenakan Batola, dan seabrek pengalaman pahit manis lainnya yang kita alami bersama.

Pengalaman Gokil Naik Tossa, Tulisannya itu loh yang Bikin Sensasi Gak Nahan

Namun, pengalaman yang paling membekas adalah ketika kami harus merujuk salah seorang warga yang tiba-tiba terserang stoke dan berakhir dengan kematian (hikz). Sebagai mahasiswa kesehatan masyarakat, tak jarang masyarakat mengartikannya dalam arti yang berbeda. Dengan adanya embel-embel kesehatan, tak jarang masyarakat mengartikan kami sebagai mahasiswa dokter, bidan, perawat, maupun tenaga medis lainnya. Tak bisa dipungkiri, Tenaga Kesehatan Masyarakat mungkin kurang familiar di kalangan masyarakat pelosok. Tak jarang kami harus menjelaskan panjang lebar kali tinggi, bahwa kami bukan mahasiswa yang melakukan pemeriksaan medis. Tapi yah paling-paling cuma melayani tensi darah ke masyarakat, yah sebagai pemanis saja, tapi meskipun begitu mereka lumayan antusias untuk diperiksa tensi darahnya.

Setidaknya Cuma Nensi inilah Kerja Medis yang kami Bisa

Bercerita tentang pelayanan kesehatan disini, karena statusnya baru pemekaran 6 bulan, maka fasilitas puskesmas pembantu (pustu) belum mempuni. Pustu yang lengkap hanya bisa diakses masyarakat di desa sebelah dengan mengarungi jalan rusak berbatu dan licin, sekitar 30 menit perjalanan dengan menggunakan motor. Disini sebenarnya sudah mulai dibangun pustu untuk desa karya maju, tetapi yah isinya apa adanya, dan belum ada tenaga kesehatan yang menetap di desa ini. Tenaga kesehatan yang ada cuma seorang perawat yang datangnya sekitar jam 9 pagi dan pulang jam 11.30 siang. Selain itu ada juga sih posyandu balita dan ibu hamil yang dilakukan setiap satu bulan sekali.

Balik ke cerita perujukan, seingat saya, kejadian ini terjadi di pertengahan fase kami menjalani PBL. Waktu itu, para cowonya (Aam dan Assegaf) disuruh untuk beli perlengkapan dan ngurus ini itu ke Ibukota sekalian mereka pulang ke Banjarbaru. Tinggalah kami ber-tujuh cewe semua. Sebelum pergi, si ketua Aam berwasiat kepada Helda untuk nge-jagain kami semua, sekaligus jadi ketua yang mengkoord kami disini. Gak ada firasat apa pun dibenak kami, berharap sepeninggalan ketua ke Ibukota beberapa hari, semua berjalan lancar seperti hari-hari sebelumnya.

Puncaknya, pada malam hari, kami ber-tujuh merasa gak bisa tidur, padahal biasanya jam 10an kami sudah bisa terlelap. Untuk menimbulkan rasa kantuk, kami pun mencoba menonton film horor yang udah kami stok sebelumnya. Namanya juga perempuan, suka nonton film horor barengan, tapi ketika ada adegan hantunya muncul malah ketakutan semua, sembunyi dibalik selimut (hahaha). Ditengah film horor yang mencekam, tiba-tiba terdengar suara Pak Jito (induk semang base camp kami) memanggil kami. Sontak kami hentikan sejenak nonbar kami, Helda pun segera mengambil kerudungnya kemudian pergi ke luar mencoba melihat apa yang sedang terjadi. Saya bersama beberapa teman lainnya yang tertinggal di dalam kamar hanya bisa saling berpandangan, berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk.

Dengan wajah yang serius Helda pun kembali masuk ke kamar dan berusaha menceritakan kondisi pelik yang mungkin terjadi. Katanya ada warga yang kesini, minta kami ke rumahnya, karena orang tuanya tiba-tiba tak sadarkan diri. Helda pun langsung memberikan instruksi, sebagian dari kami ikut menjenguk ke rumah pasien, dan sebagian lainnya menghubungi Aam dan siap siaga di base camp. Diputuskan lah 3 orang yang pergi ke rumah pasien, yaitu Helda, Rina, dan Saya. Untungnya kami dipinjami motor oleh Pak Jito ke sana. Rina dengan warga yang melapor tadi, Saya dan Helda memakai motor Pak Jito.

Hari semakin larut, malam pun semakin pekat. Dengan hati yang was-was dicampur takut dan kalut, kami pun menembus kebun karet di tengah gelap gulita. Memang tak ada lampu penerangan jalan disini, kami hanya bisa mengandalkan lampu dari motor. Tak hanya disitu, medan jalan yang kami lalui membuat kami hanya banyak-banyak berdoa agar sampai dengan selamat. Pasalnya, jalan yang sedang kami lalui ini sangat licin dikarenakan tanah perkebunan yang semakin lembur akibat dilanda hujan sore tadi. Ditambah lagi di ujung jalan, kami harus melewati jalan setapak yang menghubungkan jalan yang dipisahkan sungai kecil, jadi bisa dibayangkan kalau tergelincir sedikit saja kami bisa-bisa jatuh ke sungai kecil itu.

Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, kami berhasil sampai di rumah pasien. Terlihat seorang kakek-kakek sedang terbaring dengan gerakan kaku dan suara melenguh, hampir tak sadarkan diri. Helda pun segera mengeluarkan perlengkapan tensi meter dan dengan cekatan mencoba me-tensi tekanan darah si kakek. Dengan wajah yang sedikit terkejut, Helda memberi tahu saya bahwa tekanan darah si kakek hampir mencapai 200an mm/Hg. Helda pun menyuruh saya untuk menensi ulang si kakek untuk memastikan bahwa tensiannya benar. Saya pun ikut panik, sampai-sampai ngerasa nge-blank saat mencoba mengukur tekanan darah si kakek. Usut punya usut, si kakek ternyata pagi tadi bekerja seperti biasanya menyadap karet di kebunnya sendiri, malamnya si kakek menghadiri undangan aqiqahan lalu menyantai masakan tulur rebus. Sehabis pulang dari aqiqahan tersebut kakek tersebut langsung jatuh dan seperti inilah keadaanya. Lalu, kami pun berasumsi bahwa si kakek terkena Stroke Akut. Karena kami hanya anak kesehatan masyarakat yang gak dibekali cara-cara pertolongan pertama saat gawat darurat, yang bisa kami lakukan adalah dengan segera mungkin merujuk si kakek ke Rumah Sakit Daerah.

Beberapa warga yang memiliki mobil pun dimintai tolong oleh keluarga pasien, tapi sayangnya tak ada satu pun yang bersedia meminjamkannya. Kami pun tak habis pikir, satu-satunya yang bisa kami minta tolongi adalah kawan-kawan PBL yang berdomisili di desa sebelah. Saat itu kami berusaha menghubungi salah seorang ketua tim desa sebelah. Alhamdulillah, dari desa sebelah ada satu mobil cold yang bersedia mengantarkan pasien ke Kota.

Namanya juga berada di desa sebelah, tak semerta-merta langsung begitu saja datang, setidaknya perlu waktu hampir setengah jam lebih dari desa sebelah menuju desa kami. Sembari menunggu jemputan, saya cuma bisa memijit tubuh si kakek dengan minyak gosok, berharap dapat mengurangi efek kekakuan akibat stroke. Tiba-tiba saja si kakek muntah, dan muntahannya yang hitam pekat mengenai baju saya. Saya pun cuma bisa ngelus dada dalam hati, sabar de,, inilah perjuangan tenaga kesehatan di pelosok negeri.

Waktu hampir menunjukan jam 1 malam, Alahmdulillah jemputan itu datang. Kami bertiga beserta beberapa keluarga pasien pun ikut merujuk si kakek ke rumah sakit daerah di Marabahan. Lagi-lagi perujukan dengan segera harus terkendala lagi, yaitu akses jalan. Dengan akses jalan yang rusak dan licin membuat mobil ini tak bisa melaju dengan maksimal. Sekitar pukul 2.30 dini hari, kami pun akhirnya sampai di rumah sakit daerah Marabahan. Segera saja pasien dirujuk ke UGD. Seorang perawat rumah sakit pun mendatangi pasien dan mencoba mendiagnosa apa yang terjadi. Dengan santainya si perawat berujar “ Oh ini stroke, kami gak bisa menangani ini, ini ditangani di Rumah Sakit Ulin saja, mana keluarganya, biar dibikinkan surat rujukan..” (NB: Rumah Sakit Ulin merupakan Rumah Sakit Umum Daerah Rujukan Tertinggi di Kalsel-Kalteng).

Perawat tadi pun langsung kembali ke ruangannya, TANPA MELAKUKAN PERTOLONGAN PERTAMA/USAHA MEDIS yang setidaknya dilakukan untuk menunda atau meperlambat risiko yang akan muncul. Dengan sedikit geram, Helda pun mengambil inisiatif meminta perawat tadi setidaknya memasangkan infus ataupun tabung oksigen kepada si pasien. Untugnya si perawat mau-mau saja. Saya dan Rina hanya bisa saling berpandangan, tak ada yang bisa kami lakukan, cuma bisa berempati sembari memanjatkan doa untuk keselamatan dan kesembuhan si kakek. Kami pun tak bisa memikirkan, harus berapa lama lagi didiamkan seperti ini, waktu terbuang hanya karena proses perjalanan perujukan.

Akhirnya jam 3 pagi, si pasien pun melanjutkan perjalanan perujukan ke Rumah Sakit Ulin. Tinggal lah kami ber-3 bersama sopir mobil kembali ke desa kami. Sekitar jam 4 subuh kami disinggahkan di depan gerbang masuk desa kami. Alahmdulillah, sekertaris desa (sekdes) kami sudah menunggu kami di depan sana. Untungnya kami gak jalan kaki di tengah subuh menuju base camp. Meskipun kami dijemput, ternyata Pak Sekdes cuma bawa 1 motor, alhasil daripada disuruh nunggu di tengah gelap, kami naik berempat 1 motor. Untungnya tubuh kami kecil-kecil dan pak sekdes lumayan lihay dan hafal jalan di desa.

Setibanya di rumah, ternyata teman kami yang siap siaga di base camp hampir-hampir tak bisa tidur menunggu kepulangan kami dengan cemas. Setelah solat subuh, barulah kami bertiga tepar tertidur seelah perjalanan panjang ini. keesokan harinya, terdengan kabar bahwa si kakek meninggal dunia saat ditangani di rumah sakit. Rasa iba, sedih, dan bercampur-baur pun turut memenuhi sanubari kami (terutama saya yang merasakan perjuangan perujukan yang sebegitunya). Saya pun dalam hati hanya bisa berbisik, Maaf Pak, Bu, kami Cuma Anak Kesehatan Masyarakat, bukan dokter, bukan, perawat, maupun tenaga medis.

-end-
 


NB: Hak cipta dan Hak milik hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala,, namun... ada baiknya jika di copas menyertakan link blog ini... sangpendambasurga@blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar