Rabu, 26 April 2017

“Eksotisme” Kampung Tua Urang Banjar



Gambar Salah Satu Cagar Budaya Makam Syeikh Surgi Mufti
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2017

Banjarmasin, Januari 2017

Berawal dari penugasan survei sebuah universitas dan NGO dari Negeri Paman Sam, mengharuskan saya menyusuri sudut lain Kota Banjarmasin. Meskipun terbilang tanah kelahiran sendiri, ternyata masih banyak hal-hal yang belum saya ketahui tentangnya. Ada terbesit perasaan bersalah, karena selama ini saya sangat bersemangat untuk menjelajahi daerah luar, tapi masih belum mengenal secara mendalam tentang daerah sendiri.

Gambar Pengrajin Rumahan Kain Sasirangan
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2017
Sudut lain itu bernama Kampung Sungai Jingah, sebuah perkampungan yang menurut cerita turun temurun merupakan salah satu kampung tua di Kota Banjarmasin. Ada perasaan kagum ketika memasuki daerah ini. Sisa-sisa kebudayaan bubuhan urang Banjar[1] masih lekat terasa. Hal itu dapat saya rasakan ketika melihat pemandangan perkampungan yang masih tradisional. Disini dapat saya saksikan beberapa peninggalan cagar budaya dan rumah adat suku banjar yang masih original. Selain itu, kampung ini juga terkenal dengan para pengrajin kain sasirangan, kain tradisional Suku Banjar. Beberapa industri rumahan dapat ditemukan disini, hingga tak jarang rumah penduduk juga berfungsi sebagai “galeri” penjualan kain yang fresh, langsung dari pengrajinnya.


Kampung Tua, Sisi Lain Kota Banjarmasin
Layaknya sebuah Ibukota provinsi, Banjarmasin kini mulai mentransformasikan diri menjadi Kota yang lebih modern. Seiring meningkatnya pertumbuhan dan pendapatan daerah, dalam dua dekade terakhir ini dapat dilihat masifnya pembanguan insfrastuktur dan tata kota. Daerah bantaran sungai menjadi salah satu spot yang banyak dibenahi, sehingga mau tak mau ikut menggerus sisa budaya lokal yang ada.
Namun, ternyata masih ada sisa budaya lokal yang masih bertahan, yaitu kampung Sungai Jingah. Kampung ini berada di Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kampung ini hanya berjarak 2-3 Km dari pusat kota dan dapat ditempuh dengan motor maupun mobil. Secara geografis, kawasan perkampungan tua ini berada di tepian Sungai Martapura dan membentuk pemukiman yang linear di tepian sungai. Menurut cerita, toponim Kampung Sungai Jingah sendiri berasal dari sebuah sungai kecil yang banyak ditumbuhi oleh pohon jingah (Gluta renghas). Namun sayangnya, salah satu spesies pohon “angker” Kalimantan ini tak banyak lagi dijumpai disini.

Gambar Rumah Tradisional Palimbangan, Suku Banjar
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2017
Mayoritas perkampungan tua di Kota Banjarmasin memang bermukim di pinggiran aliran sungai. Selain memang topografi Kota Banjarmasin yang banyak memiliki sungai dan kanal, kehidupan urang Banjar memang sejak zaman dahulu sangat bertumpu pada aliran sungai, khususnya Sungai Barito dan cabang anak sungainya. Hal ini membuat masyarakat menyesuaikan kebutuhan hidup mereka dengan alam. Beberapa bentuk penyesuaian itu bisa dilihat dari bentuk rumah tradisonal, alat transportasi rakyat, transaksi perniagaan, sumber penghidupan, hingga aktivitas keseharian.

Gambar Rumah Lanting
Sumber: http://anisafitria34.blogspot.co.id
Secara umum, terdapat dua bentuk perumahan tradisonal yang sering dibangun di pinggiran sungai yaitu rumah panggung dan rumah apung atau dalam istilahnya disebut rumah lanting. Menariknya, rumah lanting ini bersifat portable, dapat dipindahkan oleh pemiliknya sepanjang aliran sungai. Selain berfungsi sebagai tempat hunian, biasanya juga berfungsi sebagai tempat transaksi perniagaan seperti pancarekenan[2], bengkel kelotok[3] dan jukung[4], hingga pertamina mini yang menjual bahan bakar. Namun sayangnya, keberadaan rumah lanting ini sudah jarang ditemukan disini. Kalau pun masih ada hanya di daerah pedalaman Sungai Martapura yang belum terjamah pembangunan kota.

Sebagai alat transportasi, jukung maupun kelotok menjadi salah satu alat transportasi yang lazimnya dimiliki setiap rumah tangga pinggiran sungai. Jika diibaratkan adalah sepeda dan mobil bagi masyarakat di darat. Namun seiringnya pembangunan jalan dan terbukanya akses darat, jukung dan kelotok sudah mulai ditinggalkan. Meskipun jumlahnya berkurang, keberadaan dua alat transportasi tradisonal ini masih eksis untuk perniagaan, mendistribusikan hasil kebun, maupun untuk menembus daerah sungai lainnya yang masih belum terjamah akses darat.
Dalam hal sumber penghidupan, selain berdagang, memancing dan memanfaatkan hasil kebun juga menjadi salah satu bentuk adaptasi masyarakat terhadap kehidupan sungai dan sekitarnya. Ada bentuk unik dari interaksi perniagaan masyarakat pinggir sungai, yaitu pasar terapung. Aktivitas jual beli di pasar ini dilakukan di atas sungai dengan menggunakan jukung atau kelotok. Barang yang diperjualbelikan biasanya hasil kebun, ikan, kebutuhan rumah tangga, hingga makanan dan kue tradisional. Namun kini, pasar terapung tradisional yang masih eksis hanya ada di daerah Muara Sungai Kuin dan Lok Baintan saja.
Aktivitas keseharian urang Banjar yang berada di pinggir sungai sebenarnya tidak terlalu banyak berbeda dengan mereka yang tinggal di darat. Namun hal yang paling mencolok adalah dari segi cara pemenuhan hajat hidup. Masyarakat pinggir sungai menjadikan sungai sebagai tumpuan urat nadi kehidupan mereka, mulai dari mandi, mencuci, mencari sumber penghidupan, perniagaan, transportasi, tempat bermain anak, hingga pencarian kesembuhan. Aktivitas keseharian ini dapat dilihat dari masih eksisnya jamban maupun batang[5] yang bertengger di rumah warga. Meskipun akses air bersih PDAM sudah masuk kesini, tetap saja masyarakat masih menggunakan air sungai untuk MCK rumah tangga. Ironinya, sungai juga berperan sebagai tempat pembuangan yang “praktis”, baik limbah rumah tangga maupun sampah dari alam.


Kampung Tua dan Budaya Sungai Urang Banjar
Bertandang ke kawasan perkampungan tua Sungai Jingah, menyiratkan peninggalan budaya sungai urang Banjar yang masih tersisa dan dinamika perubahannya. Secara umum, budaya sungai merupakan cara hidup, perilaku, dan adaptasi manusia yang hidup di tepi sungai, yang telah menjadi tradisi secara turun temurun[6]. Lahirnya kebudayaan perkampungan di pinggir sungai tidak terlepas dari interaksi masyarakat yang bertumpu pada sungai dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Bahkan sangking melekatnya, salah satu filosofi kehidupan sungai yaitu “Kayuh Baimbai[7]menjadi motto pembangunan daerah. Kehidupan masyarakat yang  berkembang di atas sungai ini kemudian menjadi ciri khas dan budaya urang Banjar.
Tak dapat dipungkiri, modernisasi kini menggeser nilai-nilai budaya urang Banjar terhadap sungai. Contoh kecil, jika dulu pemukiman masyarakat dibangun berhadapan dengan sungai yang menandakan bahwa sungai sebagai teras. Namun kini, pembangunan pemukiman menjadi membelakangi sungai. Dari konsep “teras” dan “belakang” ini timbul pergeseran pemaknaan dari sungai itu sendiri. Jika dulu sebagai teras yang menandakan sungai adalah “beranda” kehidupan masyarakat yang darinya berperan sebagai urat nadi kehidupan, kini berubah menjadi “belakang” yang terbatas aktivitas “belakang” seperti pembuangan limbah dan MCK. 
Pergeseran budaya sungai ini kemudian berpengaruh pada simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai. Kini perilaku masyarakat cenderung “membelakangkan” (mengabaikan) kelestarian sungai. Pembangunan pemukiman rumah yang sesukanya dan diperparah dengan rendahnya perilaku PHBS, maka sudah sewajarnya akan menimbulkan masalah. Contoh kecilnya saja perilaku keseharian masyarakat yang membuang limbah di sungai, membuat sungai tercemar sehingga menimbulkan penyakit menular seperti diare, DBD, hingga penyakit kulit. Belum lagi ditambah dengan maraknya pembuangan limbah industri rumahan yang ikut menyumbang penurunan kualitas air sungai yang ada.
Kini, perkampungan pinggir sungai sering kali memiliki stereotif yang tidak jauh dari kesan kumuh, sampah, banjir, dan penyakit menular. Banjarmasin sebagai kota yang memiliki julukan Kota Seribu Sungai bahkan dulu sempat diplesetkan dengan sebutan “Kota Seribu Sungai, Kota Seribu Masalah”. Memang tidak sepenuhya salah, karena memang seperti itu adanya.
Namun syukurnya masih ada harapan untuk memperbaiki ini. Jika budaya sungai yang dulu kini dapat berubah dengan budaya sungai yang ada sekarang, maka artinya untuk mengubah suatu budaya maka harus dengan budaya juga. Budaya sungai urang Banjar yang abai terhadap kelestarian sungai dapat diubah dengan budaya sungai urang Banjar yang berorientasi pada PHBS dan kelestarian lingkungan.
Membentuk budaya baru memang bukan hal yang mudah, sebab pada tabiatnya terbentunya suatu budaya memerlukan adanya pemahaman, kesadaran, kemauan, kemampuan, pembiasaan, dan dukungan pemerintah. Hal ini dikarenakan terbentuknya budaya tak lepas dari aspek sosial, ekonomi, dan politik. Jadi, jika ingin mengubah budaya yang ada menjadi lebih baik, maka tak ada cara lain selain memperbaiki taraf pemahaman masyarakat, kesadaran, pembiasaan, dan good government dari pemerintah.
Pada akhirnya, sudah sepantasnya perkembangan pemukiman di tepian sungai yang menjadi ciri khas budaya urang Banjar tetap terlestarikan. Namun dengan cara yang lebih manusiawi dan tidak “mendzolimi” lingkungan. Sehingga pemukiman dapat tumbuh berkembang secara baik dan sungai tetap terpelihara dan berfungsi sebagai penunjang kehidupan.






Catatan Kaki:
[1] Bubuhan Urang Banjar memiliki arti Kelompok Orang Banjar, biasanya dalam penyebutan identitas kekerabatan atau kesukuan, Suku Banjar lebih sering menyebut dengan sebutan Bubuhan.
[2] Pancarekenan : Warung yang menjual bahan-bahan pokok lengkap  seperti beras, gula, minyak, LPG, dsb.
[3] Kelotok: Perahu kayu kecil yang digerakan oleh mesin
[4] Jukung : Peraku kayu/ sampan yang dikayuh, tanpa mesin
[5] Batang : Sejenis dermaga apung tradisonal, biasanya berupa kumpulan kayu-kayu besar yang mengapung dan digunakan sebagai tempat menambatkan jukung atau kelotok. Selain itu juga berfungsi sebagai tempat MCK komunal yang dilengkapi dengan jamban tertutup.
[6] Wajidi, 2012. Orang Banjar dan Budaya Sungai. (diakses di www.bubuhanbanjar.wordpress.com)
[7] Kayuh Baimbai artinya mendayung bersama-sama
 


NB: Hak cipta dan Hak milik hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala,, namun... ada baiknya jika di copas menyertakan link blog ini... sangpendambasurga@blogspot.com