Gambar Salah Satu Cagar Budaya Makam
Syeikh Surgi Mufti
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2017 |
Banjarmasin,
Januari 2017
Berawal dari
penugasan survei sebuah universitas dan NGO dari Negeri Paman Sam, mengharuskan
saya menyusuri sudut lain Kota Banjarmasin. Meskipun terbilang tanah kelahiran
sendiri, ternyata masih banyak hal-hal yang belum saya ketahui tentangnya. Ada
terbesit perasaan bersalah, karena selama ini saya sangat bersemangat untuk
menjelajahi daerah luar, tapi masih belum mengenal secara mendalam tentang
daerah sendiri.
Gambar Pengrajin Rumahan Kain Sasirangan
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2017 |
Sudut lain
itu bernama Kampung Sungai Jingah, sebuah perkampungan yang menurut cerita
turun temurun merupakan salah satu kampung tua di Kota Banjarmasin. Ada
perasaan kagum ketika memasuki daerah ini. Sisa-sisa kebudayaan bubuhan urang
Banjar[1]
masih lekat terasa. Hal itu dapat saya rasakan ketika melihat pemandangan perkampungan
yang masih tradisional. Disini dapat saya saksikan beberapa peninggalan cagar
budaya dan rumah adat suku banjar yang masih original. Selain itu,
kampung ini juga terkenal dengan para pengrajin kain sasirangan, kain tradisional
Suku Banjar. Beberapa industri rumahan dapat ditemukan disini, hingga tak
jarang rumah penduduk juga berfungsi sebagai “galeri” penjualan kain yang fresh,
langsung dari pengrajinnya.
Kampung Tua, Sisi Lain Kota Banjarmasin
Layaknya
sebuah Ibukota provinsi, Banjarmasin kini mulai mentransformasikan diri menjadi
Kota yang lebih modern. Seiring meningkatnya pertumbuhan dan pendapatan daerah,
dalam dua dekade terakhir ini dapat dilihat masifnya pembanguan insfrastuktur
dan tata kota. Daerah bantaran sungai menjadi salah satu spot yang banyak
dibenahi, sehingga mau tak mau ikut menggerus sisa budaya lokal yang ada.
Namun,
ternyata masih ada sisa budaya lokal yang masih bertahan, yaitu kampung Sungai
Jingah. Kampung ini berada di Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Kampung ini hanya berjarak 2-3 Km dari pusat kota dan dapat ditempuh
dengan motor maupun mobil. Secara geografis, kawasan perkampungan tua ini
berada di tepian Sungai Martapura dan membentuk pemukiman yang linear di tepian
sungai. Menurut cerita, toponim Kampung Sungai Jingah sendiri berasal dari
sebuah sungai kecil yang banyak ditumbuhi oleh pohon jingah (Gluta renghas).
Namun sayangnya, salah satu spesies pohon “angker” Kalimantan ini tak banyak
lagi dijumpai disini.
Gambar Rumah Tradisional Palimbangan, Suku
Banjar
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2017 |
Mayoritas perkampungan
tua di Kota Banjarmasin memang bermukim di pinggiran aliran sungai. Selain
memang topografi Kota Banjarmasin yang banyak memiliki sungai dan kanal,
kehidupan urang Banjar memang sejak zaman dahulu sangat bertumpu pada
aliran sungai, khususnya Sungai Barito dan cabang anak sungainya. Hal ini
membuat masyarakat menyesuaikan kebutuhan hidup mereka dengan alam. Beberapa
bentuk penyesuaian itu bisa dilihat dari bentuk rumah tradisonal, alat
transportasi rakyat, transaksi perniagaan, sumber penghidupan, hingga aktivitas
keseharian.
Gambar Rumah Lanting
Sumber: http://anisafitria34.blogspot.co.id |
Secara umum,
terdapat dua bentuk perumahan tradisonal yang sering dibangun di pinggiran
sungai yaitu rumah panggung dan rumah apung atau dalam istilahnya disebut rumah
lanting. Menariknya, rumah lanting ini bersifat portable, dapat
dipindahkan oleh pemiliknya sepanjang aliran sungai. Selain berfungsi sebagai
tempat hunian, biasanya juga berfungsi sebagai tempat transaksi perniagaan
seperti pancarekenan[2],
bengkel kelotok[3]
dan jukung[4],
hingga pertamina mini yang menjual bahan bakar. Namun sayangnya, keberadaan
rumah lanting ini sudah jarang ditemukan disini. Kalau pun masih ada
hanya di daerah pedalaman Sungai Martapura yang belum terjamah pembangunan
kota.
Sebagai alat
transportasi, jukung maupun kelotok menjadi salah satu alat
transportasi yang lazimnya dimiliki setiap rumah tangga pinggiran sungai. Jika
diibaratkan adalah sepeda dan mobil bagi masyarakat di darat. Namun seiringnya
pembangunan jalan dan terbukanya akses darat, jukung dan kelotok sudah
mulai ditinggalkan. Meskipun jumlahnya berkurang, keberadaan dua alat
transportasi tradisonal ini masih eksis untuk perniagaan, mendistribusikan
hasil kebun, maupun untuk menembus daerah sungai lainnya yang masih belum
terjamah akses darat.
Dalam hal sumber
penghidupan, selain berdagang, memancing dan memanfaatkan hasil kebun juga
menjadi salah satu bentuk adaptasi masyarakat terhadap kehidupan sungai dan
sekitarnya. Ada bentuk unik dari interaksi perniagaan masyarakat pinggir
sungai, yaitu pasar terapung. Aktivitas jual beli di pasar ini dilakukan di
atas sungai dengan menggunakan jukung atau kelotok. Barang yang
diperjualbelikan biasanya hasil kebun, ikan, kebutuhan rumah tangga, hingga
makanan dan kue tradisional. Namun kini, pasar terapung tradisional yang masih
eksis hanya ada di daerah Muara Sungai Kuin dan Lok Baintan saja.
Aktivitas
keseharian urang Banjar yang berada di pinggir sungai sebenarnya tidak
terlalu banyak berbeda dengan mereka yang tinggal di darat. Namun hal yang
paling mencolok adalah dari segi cara pemenuhan hajat hidup. Masyarakat pinggir
sungai menjadikan sungai sebagai tumpuan urat nadi kehidupan mereka, mulai dari
mandi, mencuci, mencari sumber penghidupan, perniagaan, transportasi, tempat
bermain anak, hingga pencarian kesembuhan. Aktivitas keseharian ini dapat
dilihat dari masih eksisnya jamban maupun batang[5]
yang bertengger di rumah warga. Meskipun akses air bersih PDAM sudah masuk
kesini, tetap saja masyarakat masih menggunakan air sungai untuk MCK rumah
tangga. Ironinya, sungai juga berperan sebagai tempat pembuangan yang
“praktis”, baik limbah rumah tangga maupun sampah dari alam.
Kampung Tua dan Budaya Sungai Urang Banjar
Bertandang
ke kawasan perkampungan tua Sungai Jingah, menyiratkan peninggalan budaya
sungai urang Banjar yang masih tersisa dan dinamika perubahannya. Secara
umum, budaya sungai merupakan cara hidup, perilaku, dan adaptasi manusia
yang hidup di tepi sungai, yang telah menjadi tradisi secara turun temurun[6]. Lahirnya
kebudayaan perkampungan di pinggir sungai tidak terlepas dari interaksi
masyarakat yang bertumpu pada sungai dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial,
budaya, dan politik. Bahkan sangking melekatnya, salah satu filosofi kehidupan
sungai yaitu “Kayuh Baimbai[7]”
menjadi motto pembangunan daerah. Kehidupan masyarakat yang
berkembang di atas sungai ini kemudian menjadi ciri khas dan budaya urang
Banjar.
Tak dapat
dipungkiri, modernisasi kini menggeser nilai-nilai budaya urang Banjar terhadap
sungai. Contoh kecil, jika dulu pemukiman masyarakat dibangun berhadapan dengan
sungai yang menandakan bahwa sungai sebagai teras. Namun kini, pembangunan
pemukiman menjadi membelakangi sungai. Dari konsep “teras” dan “belakang” ini
timbul pergeseran pemaknaan dari sungai itu sendiri. Jika dulu sebagai teras
yang menandakan sungai adalah “beranda” kehidupan masyarakat yang darinya
berperan sebagai urat nadi kehidupan, kini berubah menjadi “belakang” yang
terbatas aktivitas “belakang” seperti pembuangan limbah dan MCK.
Pergeseran budaya sungai ini kemudian berpengaruh pada simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai. Kini perilaku masyarakat cenderung “membelakangkan” (mengabaikan) kelestarian sungai. Pembangunan pemukiman rumah yang sesukanya dan diperparah dengan rendahnya perilaku PHBS, maka sudah sewajarnya akan menimbulkan masalah. Contoh kecilnya saja perilaku keseharian masyarakat yang membuang limbah di sungai, membuat sungai tercemar sehingga menimbulkan penyakit menular seperti diare, DBD, hingga penyakit kulit. Belum lagi ditambah dengan maraknya pembuangan limbah industri rumahan yang ikut menyumbang penurunan kualitas air sungai yang ada.
Pergeseran budaya sungai ini kemudian berpengaruh pada simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai. Kini perilaku masyarakat cenderung “membelakangkan” (mengabaikan) kelestarian sungai. Pembangunan pemukiman rumah yang sesukanya dan diperparah dengan rendahnya perilaku PHBS, maka sudah sewajarnya akan menimbulkan masalah. Contoh kecilnya saja perilaku keseharian masyarakat yang membuang limbah di sungai, membuat sungai tercemar sehingga menimbulkan penyakit menular seperti diare, DBD, hingga penyakit kulit. Belum lagi ditambah dengan maraknya pembuangan limbah industri rumahan yang ikut menyumbang penurunan kualitas air sungai yang ada.
Kini, perkampungan
pinggir sungai sering kali memiliki stereotif yang tidak jauh dari kesan kumuh,
sampah, banjir, dan penyakit menular. Banjarmasin sebagai kota yang memiliki
julukan Kota Seribu Sungai bahkan dulu sempat diplesetkan dengan sebutan “Kota
Seribu Sungai, Kota Seribu Masalah”. Memang tidak sepenuhya salah, karena
memang seperti itu adanya.
Namun syukurnya masih ada harapan untuk memperbaiki ini.
Jika budaya sungai yang dulu kini dapat berubah dengan budaya sungai yang ada
sekarang, maka artinya untuk mengubah suatu budaya maka harus dengan budaya
juga. Budaya sungai urang Banjar yang abai terhadap kelestarian sungai
dapat diubah dengan budaya sungai urang Banjar yang berorientasi pada
PHBS dan kelestarian lingkungan.
Membentuk budaya baru memang bukan hal yang mudah, sebab
pada tabiatnya terbentunya suatu budaya memerlukan adanya pemahaman, kesadaran,
kemauan, kemampuan, pembiasaan, dan dukungan pemerintah. Hal ini dikarenakan
terbentuknya budaya tak lepas dari aspek sosial, ekonomi, dan politik. Jadi,
jika ingin mengubah budaya yang ada menjadi lebih baik, maka tak ada cara lain
selain memperbaiki taraf pemahaman masyarakat, kesadaran, pembiasaan, dan good
government dari pemerintah.
Pada akhirnya, sudah sepantasnya perkembangan pemukiman
di tepian sungai yang menjadi ciri khas budaya urang Banjar tetap
terlestarikan. Namun dengan cara yang lebih manusiawi dan tidak “mendzolimi”
lingkungan. Sehingga pemukiman dapat tumbuh berkembang secara baik dan sungai
tetap terpelihara dan berfungsi sebagai penunjang kehidupan.
[1] Bubuhan Urang Banjar memiliki arti Kelompok Orang Banjar,
biasanya dalam penyebutan identitas kekerabatan atau kesukuan, Suku Banjar
lebih sering menyebut dengan sebutan Bubuhan.
[2] Pancarekenan : Warung yang menjual bahan-bahan pokok
lengkap seperti beras, gula, minyak,
LPG, dsb.
[3] Kelotok: Perahu kayu kecil yang digerakan oleh mesin
[4] Jukung : Peraku kayu/ sampan yang dikayuh, tanpa mesin
[5] Batang : Sejenis dermaga apung tradisonal, biasanya berupa
kumpulan kayu-kayu besar yang mengapung dan digunakan sebagai tempat
menambatkan jukung atau kelotok. Selain itu juga berfungsi
sebagai tempat MCK komunal yang dilengkapi dengan jamban tertutup.
[6] Wajidi, 2012. Orang Banjar dan Budaya Sungai. (diakses di www.bubuhanbanjar.wordpress.com)
[7] Kayuh Baimbai artinya mendayung bersama-sama
NB: Hak cipta dan Hak milik hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala,, namun... ada baiknya jika di copas menyertakan link blog ini... sangpendambasurga@blogspot.com