Jumat, 08 Juli 2016

Untuk sahabat ku...





Tetiba saja aku ingin membuka album-album lama kita. Album yang berisikan moment-moment suka duka dan canda tawa kita saat masih dibangku kuliah. Rasanya, aku mulai menikmati nostalgia kita bersama. Hal-hal tadinya terlupa, kini terngiang kembali sensasinya.
Dan aku pun tersadar, bahwa begitu alfanya aku dulu. Aku yang cuek, dingin, so cool, so keren, aneh, kadang konyol, egois dan berapi-api. Aku menyadari diri ku masih jauh dari sosok sahabat menurut pandangan islam, yaitu seseorang yang senantiasa mengingatkan mu untuk selalu taat pada Allah. Aku pun jauh dari sosok orang itu, sosok sahabat yang bisa menjadi tepat curhat mu, tempat mu berbagi gundah, dan tempat mu untuk meminjam uang *eeh.
Tapi,, percayalah, bersamaan dengan hal-hal yang kita lalui, aku mulai belajar bagaimana menjadi orang yang peka, menjadi orang peduli, dan menjadi sosok orang yang lebih berarti. Dari kalian, aku berterima kasih... aku belajar banyak hal dari hal-hal yang telah kita lalui bersama. Ketika aku keukeh dengan pandangan ku, ketika kamu mengalah pada prinsip ku, ketika aku menangis karena ketidak sepahaman kita, ketika aku malu-malu merasa bersalah pada mu, ketika kau membantu ku meski tak terucap dari lisan ku, ketika malam mingguan kita isi dengan halaqoh bersama, ketika kita harus berlelah-lelah di jalan dakwah, dan masih banyak lagi moment berarti lainnya. Aah begitu banyak hal dan pelajaran yang aku petik dari moment yang kita lalui bersama.
Aku sadar, aku bukanlah sosok sahabat yang baik,, meskipun demikian, aku sangat berharap bahwa pertemanan kita kan abadi hingga di syurga. Terima kasih... telah memberikan aku pelajaran yang berharga untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Terima kasih, telah menerima ku dengan kekurangan dan apa adanya aku... terima kasih... Jazakillah Khoiran Katsiran, semoga Allah senantiasa menghimpun kita dalam rahmat-Nya dan mengabadikan pertemanan kita hingga di Syurga. Semoga engkau tidak jera untuk berteman dengan diriku yang alfa ini.

Dari seseorang yang berusaha menjadi sahabat mu, “Si akhwat cool”
 



NB: Hak cipta dan Hak milik hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala,, namun... ada baiknya jika di copas menyertakan link blog ini... sangpendambasurga@blogspot.com

Sabtu, 07 Mei 2016

“Kecantol” Foto Malioboro



Bukan sekedar Cinta

(....I'm a dissable, but not a dumb..." -Unknow-)



Fotografi emang udah jadi trend kekinian anak muda sekarang. Lihat aja, gak susah kok sekarang cari pemandangan anak-anak muda yang jalan “petantang-petinting” bawa kamera. Mulai dari kamera sejuta umat (kamera Handpone maksud nya) sampai kamera pro jutaan rupiah yang kadang bikin orang bawanya sok-sok jaim gitu (biar kaya si Rangga di iklan Lin*). Tambah lagi kalau itu adalah tempat wisata, wiiiuh,, buuuanyak banget anak SMA yang tetiba berubah jadi abang-bang tukang foto atau tukang narsis, yah namanya juga anak kekinian.
Malioboro, sebuah tempat wisata yang sangat tersohor di Indonesia tentunya tak luput juga dari fenomena fotografer kekinian ini. Pun, dengan saya, secara gini-gini saya juga masih masuk kategori anak muda kekinian tapi non-Alay lho. Tetiba di suatu sore di golden time, saya tetiba disuruh berburu foto-foto "ciamik" di kawasan Malioboro. Bukan sebagai fotografer kekinian atau turis-turis yang mejeng sambil petantang-petinting kamera, tapi lebih tepatnya sebagai anak muda yang lagi di-training untuk bisa ngambil foto human interest yang konon katanya harus bisa "berbicara".

Fenomena selfie di Malioboro
 Berbekal insting "sekena-kenanya" (maklum saya anak muda amatiran kalau hal ginian), saya pun mulai jeprat-jepret moment yang saya anggap menarik. Angle-angle foto mulai atas, bawah, kiri, kanan, sampai jongkokan di jalan pun tak luput saya praktikan (sangking pengen-nya jadi pro gitu).
Foto amatiran dengan angle jongkokan.. hehehe
Yang namanya moment yang bagus tentunya sering datang tak terduga. Tetiba mata saya langsung terpesona dengan sesosok ibu-ibu berbaju kuning. Hal yang menarik saya, Ibu-ibu ini berbeda dengan 99% pengunjung Malioboro yang sepanjang sore ini saya temui. Dari kejauhan terlihat si ibu berjalan tertatih dengan sebuah alat bantu jalan.
Meski bagi saya keberadaan si Ibu ini cukup menyita perhatian saya, tapi ini kontras dengan lingkup sekeliling si ibu. Banyak orang-orang yang berlalu lalang, tapi entah mengapa seakan keberadaan si Ibu tak mendapatkan perhatian. seakan keberadaannya ada tapi tak dirasa. Sontak insting saya ingin mengabadiakan moment human interest ciamik ini, dan jepreet...
Ehh.. saya lupa,, meski ini fotografi jalanan, setidaknya harus ada etiknya kan? minta izin si empunya model. Setelah menjepret dari kejauhan, saya pun menyambangi si ibu untuk meminta izin mengambil foto beliau. “Untuk apa??...” Jawab beliau setengah tak senang ketika saya meminta izin. Saya pun bisa menagkap raut wajah beliau yang tak senang itu. Saya pun segera memutar otak untuk mencari alasan yang tepat sekira si ibu mengizinkan saya. Kalau saya bilang untuk tugas bu,, mungkin nantinya si ibu berfikiran saya adalah wartawan yang mungkin akan mengeksploitasi beliau (dalam konotasi negatif). Tetiba saja saya langsung keceplosan, “eer... untuk kenang-kenangan bu, saya mau simpan...”
Tetiba saja si ibu langsung ngomong gini, “Saya gak mau dipublikasi, biar gini, saya bukan orang bodoh....”.  Saya pun langsung nge-Jleeeb....  setelah bilang begitu, si ibu langsung membalikan wajahnya dari saja dan berlalu begitu saja... Dan saya pun hanya bisa terdiam mematung di tengah keramaian.


****

 Ada hikmah yang saya dapat dari peristiwa ini (selain pelajaran etik dalam fotografi jalanan tentunya). Bahwa, terkadang bagi kita orang normal, orang-orang termajinalkan seperti beliau adalah sebuah “tontonan” yang membuat kita termehek-mehek. Namun tanpa kita sadari, ketika kita mempublikasikannya ke media sosial kita, tanpa sadar kita membuat mereka sebagai bahan “tontonan”.
Meski dengan berbagai caption “Tolong di bantu bla..bla..bla...” atau “Kasian ibu bla.. bla.. bla...” Secara tak sadar kita mengeploitasi keterbatasan mereka sebagai tontonan publik. Responnya mungkin ada yang termehek-mehek, ada juga yang menganggapa mereka sebagai bahan ”lelucon”. Yah... memang tak bisa dipungkiri ada kok orang yang kaya gini di dunia ini. Tapi kadang sebagian besar dari benak kita terbesit anggapan (meskipun secara implinsit) bahwa mereka adalah orang yang useless atau malah bahasa kasaranya a dumb yang tak bisa apa-apa karena keterbatasannya.
Mereka mungkin memiliki keterbatasan fisik, tapi bukan berarti mereka adalah orang yang “bodoh” . Orang bodoh yang tak bisa apa-apa, orang bodoh yang harus selalu bergantung pada kebaikan orang lain. Orang bodoh yang menjadi bahan tontonan bahkan lelucon karena keterbatasannya. Ngutip dari salah satu cerita yang hampir serupa, “I’m a Dissable, but not a dumb...
*Sengaja gak ada fotonya karena gak diizinkan si ibu untuk menampilkannya, sebagai gantinya fotografi jalanan amatir yang saya ambil di Malioboro.

Udah Pules ya tidurnya bang!!
Si Obat Nyamuk































Mau pesen gambar apa bang?






Heii You!!!



























NB: Hak cipta dan Hak milik hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala,, namun... ada baiknya jika di copas menyertakan link blog ini... sangpendambasurga@blogspot.com